Perbedaan Pajak Mobil Listrik dan Konvensional, Ringannya Beban Biaya EV

JAKARTA, Jejak.top – Pemerintah Indonesia terus mendorong percepatan adopsi kendaraan ramah lingkungan. Salah satu cara yang ditempuh adalah lewat keringanan pajak untuk mobil listrik. Perbedaan tarif pajak antara kendaraan berbasis listrik dengan mobil konvensional kini menjadi sorotan karena dampaknya sangat signifikan bagi konsumen.

Mobil listrik atau Electric Vehicle (EV) semakin populer karena bukan hanya efisiensi energi yang ditawarkan, tetapi juga keuntungan fiskal yang jelas terlihat. Konsumen mulai mempertimbangkan peralihan dari mobil bensin atau diesel karena beban pajak tahunan EV jauh lebih rendah. Dari sisi biaya kepemilikan, aturan ini dianggap memberikan angin segar bagi masyarakat.

Berdasarkan regulasi yang berlaku, kendaraan konvensional merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, di mana besaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) berkisar antara 1,5 hingga 2 persen dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB). Ditambah lagi, ada Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) sekitar 10 persen saat pertama kali membeli kendaraan. Bagi pemilik mobil, jumlah ini bisa mencapai jutaan rupiah per tahun, belum termasuk biaya lain seperti SWDKLLJ, penerbitan STNK, dan TNKB.

Berbeda dengan mobil berbahan bakar minyak, kendaraan listrik berbasis baterai mendapat perlakuan khusus sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2023. Dalam aturan tersebut, besaran PKB dan BBNKB untuk EV ditetapkan nol persen. Artinya, pemilik hanya perlu membayar biaya tambahan yang sifatnya administratif seperti SWDKLLJ sebesar Rp143.000 per tahun serta penerbitan STNK dan TNKB pada tahun pertama.

Jika dibandingkan, mobil dengan NJKB Rp200 juta dapat menanggung PKB hingga Rp4 juta per tahun untuk versi bensin, sedangkan pemilik EV hanya perlu mengeluarkan biaya sekitar Rp443.000 pada tahun pertama dan Rp143.000 untuk tahun-tahun berikutnya. Skema ini menunjukkan betapa ringan beban fiskal yang diberikan kepada pemilik mobil listrik di Indonesia.

Kebijakan keringanan pajak ini bukan tanpa alasan. Pemerintah menargetkan strategi jangka panjang menuju rendah emisi karbon melalui program LTS-LCCR 2050. Dengan insentif fiskal ini, diharapkan 1 juta unit kendaraan listrik bisa beroperasi pada 2030. Selain mengurangi beban finansial pengguna, kebijakan tersebut juga menjadi stimulus penting dalam menekan emisi karbon dari sektor transportasi.

Bagi konsumen, perbedaan nyata biaya pajak ini semakin menegaskan bahwa investasi pada mobil listrik bukan sekadar gaya hidup modern, melainkan langkah ekonomis. Pajak yang ringan membuat biaya kepemilikan EV lebih terjangkau dalam jangka panjang, sekaligus mendukung transisi menuju kendaraan ramah lingkungan di Indonesia.

DONASI VIA PAYPAL Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi Anda membantu Admin untuk lebih giat lagi dalam membagikan artikel yang berkualitas. Terima kasih.
Postingan Lebih Baru Postingan Lebih Baru Postingan Lama Postingan Lama

Postingan lainnya

Komentar

Posting Komentar